Ya, saya yakin anda pasti tahu diktator itu apa.
Biasanya kata diktator ini disematkan kepada orang yang berkuasa dan acap kali konotasinya adalah perilaku yang mungkin sangat buruk. Semena-mena, menguasai segalanya, merasa dirinya adalah hukum di wilayahnya dan seringkali menindas rakyat yang melawan dirinya. Seperti itulah gambaran umum dari seorang diktator.
Saya sempat tertawa dalam hati, bagaimana bisa seorang Basuki Tjahaja Purnama (selanjutnya saya singkat menjadi BTP) sebagai Gubernur Jakarta dikatakan sebagai seorang diktator dalam memimpin di DKI Jakarta? Memang benar, beberapa kebijakan yang diambilnya dianggap seperti seorang diktator oleh orang-orang yang terkena imbas dari kebijakan tersebut. Mulai dari pegawai dan pejabat Pemda DKI Jakarta yang sebelumnya terbiasa koruptif, para mafia proyek dan anggaran, oknum-oknum yang memanfaatkan lahan tanah di wilayah DKI Jakarta, hingga sampai pada warga yang terkena gusuran karena menempati lahan milik Pemda. Mungkin masih banyak lagi penderitanya. Mereka semua menganggap BTP sebagai diktator penguasa baru yang telah menyengsarakan kehidupan mereka yang telah menopang selama ini.
Pegawai dan pejabat Pemda yang dinilai kurang baik kerjanya diganti oleh orang-orang yang layak dan siap melayani untuk kepentingan masyarakat DKI Jakarta. Pembahasan Rencana Tata Ruang Wilayah, Rencana Detail Tata Ruang dan Peraturan Zonasi tidak dilakukan sendiri melainkan mulai melibatkan peran serta dari segala lapisan masyarakat yang tujuan akhirnya adalah untuk kemajuan dan kebaikan penduduk DKI Jakarta.
Kalau kita mau jujur, gebrakan yang dilakukan BTP dan Djarot sebagai wakilnya sejak menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta pada tahun 2014 (yang melanjutkan kebijakan dari Pak Jokowi sebagai Gubernur sebelumnya) telah membuat banyak perubahan dan perbaikan untuk DKI Jakarta pada umumnya. Birokrasi pemerintahan dibenahi sedemikian rupa sehingga pegawai dan pejabat Pemda DKI Jakarta menjadi pelayan bagi masyarakat DKI Jakarta. Perilaku koruptif yang merajalela pada pemerintahan sebelumnya juga digusur dengan prinsip Bersih, Transparan dan Profesional.
Perlu diakui bahwa gaya kepemimpinan BTP ini sangat berbeda dari yang pernah berjalan sebelumnya dimana Ahok dengan wewenang yang dimilikinya berani melawan arus kondisi sebelumnya sehingga banyak yang menganggap gayanya sebagai seorang diktator.
Pro-kontra terhadap gaya kepemimpinan BTP ini membuat banyak pihak menjadi terbuka matanya. Apalagi kalau kita kilas balik, dengan kewenangannya BTP membongkar praktek-praktek busuk para begal APBD sehingga anggaran Pemda dapat dimanfaatkan sebaik mungkin dengan azas keadilan sosial bagi seluruh rakyat DKI Jakarta menjadikan kesejahteraan warga menjadi semakin meningkat.
Tetapi di mata lawan-lawan politiknya dan orang-orang yang membenci karena tergusur kemapanan, kenyamanan dan permainan koruptifnya, tentu berharap agar “Sang Diktator” ini kalah dalam Pilkada DKI Jakarta putaran kedua sehingga tidak bisa lagi bekerja untuk warga DKI Jakarta.
Apabila hal tersebut menjadi kenyataan, kemungkinan besar program yang telah berjalan baik selama ini akan dirubah sesuai kebijakan penggantinya. Setidaknya para pendukung penggantinya tersebut akan mengatakan memang sebaiknya Jakarta tidak dipimpin oleh seorang diktator yang kasar dan sudah sepantasnya diganti oleh seorang yang santun dalam bertutur kata.
Sebenarnya apa saja sih yang sudah dilakukan “Sang Diktator” ini.
• Dia tebang pohon yang tidak berkembang (yang tidak bisa kerja maksimal diganti).
• Dia terobos semak belukar yang menghadang (yang menghalangi kebijakan diganti).
• Aturan yang sudah berlumut dibersihkan dan didaur ulang (reformasi birokrasi).
• Kolam dan kubangan musiman terus dikurangi (banjir diupayakan terus berkurang).
• Budi daya koruptif dimutilasi dengan budi daya bersih, transparan dan profesional.
• Makan enak sendiri diharamkan dan diganti menjadi kenikmatan untuk semua.
• Slogan ABS diganti menjadi AWS (asal warga senang) dengan peningkatan pelayanan yang berazaskan keadilan bagi seluruh warga Jakarta.
Sungguh sangat disayangkan, masa kepemimpinan BTP “Sang Diktator” yang singkat ini mungkin bisa terancam tidak berlangsung lama lagi. “Sang Diktator” bagi para koruptor, tetapi pelayan yang berdedikasi tinggi bagi warga Jakarta ini, terancam akan segera terganti oleh berbagai kekuatan yang tidak menyenangi dedikasinya. Ia harus dibantu penuh oleh warga Jakarta yang merasa terlayani dengan baik, dan sudah mencicipi perbedaan besar pelayanannya dibanding pelayanan dari yang sebelum-sebelumnya.
Siapapun yang memiliki hati nurani dan rasionalitas yang tinggi, akan mampu membedakan mana pelayan yang mampu karena kinerjanya, dan mana yang baru berjanji akan mampu tetapi belum terbukti, warga DKI Jakarta adalah orang-orang berintelektualitas tinggi. Semua tergantung keputusan “majikan” untuk “mempekerjakan” kembali BTP dan Djarot sebagai Gubernur dan Wakil di putaran kedua Pilkada DKI Jakarta bulan April nanti.
Jadi pilihan ada di tangan warga Jakarta sebagai “majikan”, atau warga lebih memilih kembali menjadi rakyat jelata.
Mata Senja
Review
User Review
( vote)You might also like
More from Ojo Ngulik
Kami Tidak Takut dengan Negara Tetangga, Kami Lebih Takut terhadap…
Bro 'n sis, Pernah ga kalian ngebayangin Indonesia akan jadi negara seperti Korea Utara (Korut)? Iya Korut negara di semanjung Korea …
MRT-J: Maskot Kebangkitan Pembangunan Indonesia
Bangsa Indonesia sudah lama tertidur nyenyak dalam mimpi-mimpi indah tentang pembangunan jangka pendek, menengah dan panjang, yang bicaranya ingin menjadi …
Tol Trans Jawa dan Inovasi Ekonomi Kerakyatan
Salam sejahtera semua Kelancaran distribusi orang dan barang dalam hukum ekonomi adalah sebuah keniscayaan. Ekonomi akan tumbuh kembang begitu dinamis saat …
Daging Beras Mahal? #2019GantiLapak
Belum lama ini, capres Prabowo dalam sebuah kampanyenya mengatakan kalau daging dan beras di Indonesia adalah salah satu yang paling …
Leave a Reply