Masih ingat dengan program pembangunan masjid senilai 1 triliun oleh Pemprov Jawa Barat? Itu menutup mata kita dengan berbagai kemerosotan yang terjadi di Jabar. Pembangunan “masjid bintang lima” ini tidak disertai dengan kepekaan yang cukup terhadap problematika kehidupan masyarakat Jawa Barat. Angka kemiskinan yang tinggi, prostitusi yang tinggi, lemahnya penanggulangan bencana, juga intoleransi yang merebak dimana-mana.
Seorang ulama kondang yang tinggal di Bandung, yang juga pemilik sebuah pondok pesantren modern disana pernah berkata, “Akhlak, akhlak, akhlak. Jangan cuma kerja, kerja, kerja.” Tidak penting kalimat seperti ini hendak ditujukan kemana. Tapi, memang akhlak atau moralitas itu sangat penting. Akhlak adalah motor utama sebuah pergerakan. Akhlak adalah tenaganya pembangunan.
Yang masih menjadi bias adalah konsep akhlak yang ditawarkan oleh ulama tadi seperti apa? Apakah mengajak umat untuk mengadili seorang penista agama? Atau, mengajak umat untuk shalat jumat berjamaah di monas? Atau mengajak umat untuk shalat subuh berjamaah di masjid-masjid terdekat?
Kalau semua itu adalah bentuk dari moralitas islami, dampak apa yang bisa dihasilkan dari ritus yang sifatnya temporer itu? Yang riaknya begitu besar dirasa hanya dalam hitungan jam. Setelahnya, hanya menyisakan kenangan indah bahwa mereka adalah muslim yang berakhlak mulia. Hanya itu saja?
Mengapa akhlak atau moral itu penting? Sebab, kedatangan Nabi Muhammad saw adalah untuk menyempurnakan akhlak manusia. Dampak yang dihasilkan dari misi beliau apa? Perbaikan di segala lini kehidupan.
Bertutur kata baik, sopan santun, simpati terhadap sesama, saling membantu kepada mereka yang kesusahan, gemar berbagi, lebih memilih mengalah sebab mengalah bukan berarti kalah, peka terhadap keadaan di sekitar, jujur, amanah, tak kuasa menyakiti orang lain, dan masih banyak lagi. Akhirnya, terciptalah sebuah masyarakat madani yang minim masalah.
Akhlak islami tak melulu ditampilkan dari pakaian yang kita pakai, makanan yang kita makan, bahkan ibadah yang kita lakukan. Semangat menjalankan syari’ah dan mengamalkan berbagai macam ibadah, tapi luput dari kepekaan sosial di lingkungan kita hidup, itu adalah bentuk dari moralitas ganda. Hiruk pikuk model dakwah kekinian, yang menjadi tren dalam penyebaran Islam ke seluruh lapisan masyarakat, tapi lupa bahwa kesejahteraan adalah tolak ukur dakwah sebuah agama sukses atau tidak.
Kita selalu sibuk pada kegiatan-kegiatan keagamaan dengan membangun sarana-sarana lahiriah seperti pembangunan masjid megah-megah, kesemarakan event–event islami semisal MTQ, Pildacil, juga Hafidz Quran, juga yang kini sedang populer seperti aksi bela Islam. Semua itu menutup mata umat Islam dari tugas utama agama: mengangkat derajat manusia dari kemiskinan dan kehinaan.
Padahal. Islam adalah agama yang memiliki kaitan erat dengan upaya meringankan beban si miskin dan si fakir. Kalau ini direnungkan sejenak, maka akan nampak, betapa jauhnya suasana kehidupan umat Islam dengan apa yang dianjurkan agama.
Umat Islam harus mampu mengevalusi dan mengkritik atas konsep akhlak atau moral yang selama ini kita hayati. Kita tidak boleh masa bodoh dengan kerusakan yang ditimbulkan dari moralitas ganda yang terus kita amalkan. Sibuk dalam ritus-ritus agama semisal shalat jumat di lapangan anu, shalat subuh di masjid anu, tapi membiarkan korupsi terus merajalela tanpa adalah aksi-aksi serupa. Ini berarti kita telah melakukan pembiaran atas proses pemiskinan bangsa ini.
Sibuk dalam dakwah yang tidak substantif semisal “tidak boleh memilih pemimpin yang non muslim” tapi menutup diri dari prestasi seorang non muslim yang telah berjuang keras menciptakan kesejahteran sesuai dengan amanat agama Islam. Dakwah hendaknya bersifat membangun bukan merubuhkan. Dan ulama perlu melihat ini. Jangan cuma mengurusi hal-hal remeh temeh semisal topi Natal.
Ulama juga harus punya konsep yang detail tentang bagaimana mengentaskan kemiskinan. Bagaimana bisa ulama mengarah kesana, sedang ulamanya masygul terlibat dalam pertarungan politik. Ulama sibuk terlibat dalam urusan halal-haram, dimana ada pusaran uang yang tidak sedikit disana. Bagaimana bisa ulama menjadi agen pemberantasan kemiskinan, jika ulama masih mengejar dunia, padahal dalam ceramah-ceramahnya, nikmat surga itu tidak terbatas.
Bukankah ulama pewaris para nabi? Tapi Nabi tak pernah punya ambisi untuk populer. Nabi tak pernah meminta tarif saat ceramah. Padahal, setiap kata yang beliau ucapkan adalah hikmah yang membawa pada perubahan dan perbaikan. Mengapa banyak alim-ulama yang memasang tarif untuk ceramah-ceramahnya, padahal kekuatan perbaikan atau perubahan belum tentu termuat dalam kata-katanya.
Kalau kekuatan perbaikan dan perubahan itu ada, bangsa ini sudah lama maju. Justru ini menjadi pertanyaan kita bersama: Saat semangat keagamaan mencuat dimana-mana, mengapa kita tetap ketinggalan dari Negara-negara “kafir” yang melesat jauh ke depan? Kita masih saja mengurus topi Natal yang dikhawatirkan akan mendangkalkan akidah.
Itu artinya. Kita terlalu asyik membangun agama ini secara fisik. Yang membuatnya hampa dari nilai-nilai akhlak, yang tersembunyi di kedalaman hati.
Akhlak, akhlak, akhlak. Bukan cuma giat mengumpulkan orang ke Jakarta. Bukan cuma sibuk mengawal sebuah fatwa, dimana fatwa dalam hukum Islam cuma sebatas anjuran bukan hukum. Juga, akhlak Islami bukan giat mensweeping tempat-tempat tertentu.
Simpanlah tenagamu untuk mengurusi hal-hal yang lebih besar dari sekedar topi Natal juga pohon cemaranya. Bukankah kemiskinan mendekatkan seseorang kepada kekafiran? Mari berantas kemiskinan dan kebodohan.
You might also like
More from Ojo Ngumpet
Khilafah: Solusi Para Gembel
Selamat malam para pembaca yang baik hatinya. Sebenarnya sudah beberapa hari ini saya sedang menimbang-nimbang untuk menuliskan opini ini. Mengingat beberapa …
#DebatKerenPapua: The Thinker vs The Social Justice Warrior
Selamat siang menjelang sore. Kali ini saya ingin membahas sebuah dinamika berpolemik yang sedang berusaha digalakkan oleh Bung Budiman Sudjatmiko, seorang …
Polemik Co-Branding
Lepas dari perseteruan KPAI dengan Djarum beberapa saat yang lalu perihal PB Djarum yang dianggap mengekploitasi anak karena terasosiasi bebas …
Menjadi Muslim yang Muttaqin
Ada orang-orang yang pada setiap harinya ia mengalami peningkatan taraf keimanan dan kebaikan dalam hidupnya; itulah orang-orang yang mendapat keberkahan …
Quick Count dan Bawang Putih
Bukan! Suer saya gak menulis bahwa untuk mencounter Quick Count (QC) perlu dilakukan ritual sebagaimana mengusir Vampire dengan menggunakan Bawang …
Erich Ludendorff Indonesia: Sejak Zaman ORBA hingga Sekarang
Selamat malam pembaca tercinta, sudah lama tak bersua. Dalam kesempatan malam menjelang Pemilu 17 April 2019 ini izinkan saya menceritakan sebuah …
Leave a Reply