Kemarin saya jalan-jalan ke Mall bersama ehm ehm. Karena suntuk menunggu dia memilih barang yang hendak dibeli, saya pun membaca media sosial seperti Facebook.
Kayaknya Indonesia sedang ada trend baru nih, istilah kerennya: “Meluruskan Sejarah“. Intinya, meluruskan sejarah yang sudah tercatat, yang kemudian dianggap mempunyai fakta lain, dan sebagian dikait-kaitkan dengan agama tertentu.
Awalnya saya kira ini hal yang sangat biasa, yahh… bukan pertama kali mereka memaksakan opini publik lewat media. Namun, setelah saya pikir-pikir, ternyata tidak sesederhana itu.
Saya melihat ini lebih kepada sistem pembentukan opini yang sangat masif dan terstruktur. Apalagi, ini terkait sejarah yang sudah tercatat dan sudah melalui berbagai penelitian bahkan melibatkan para ahli arkeologi.
Dalam meneliti sebuah sejarah tentu diperlukan metodologi khusus, serta ada literatur yang mendukungnya. Itulah sebabnya dalam mengungkapkan sejarah selalu melibatkan ahli arkeologi.
Namun ini tidak demikian, sebenarnya malah sangat menyedihkan. Mereka tanpa metodologi dan melibatkan ahli arkeologi, lantas membentuk sebuah opini -yang dianggap sebagai fakta mengejutkan-. Yang lebih menyedihkan, mereka bahkan membukukannya.
Sebagai salah satu contoh yang sedang heboh adalah kasus Kerajaan Majapahit.
Salah satu dari sekian banyak alasan mereka mengklaim adalah ditemukannya koin bertuliskan kata-kata ‘La Ilaha Illallah Muhammad Rasulullah’.
Kita harus tahu bahwa Majapahit adalah Kerajaan Hindu -setidaknya sebelum fakta mengejukkan itu muncul-. Jadi sangat mungkin terjadi interaksi dengan pedagang yang asalnya dari beberapa negara seperti China, Gujarat dan tentunya Arab. Ini juga yang membuat ada kemungkinan dalam kerajaan Majapahit ada penganut agama Islam.
Selain itu Majapahit sendiri saat itu masih menggunakan sistem barter dan menggunakan emas atau perak juga tembaga untuk melakukan transaksi perdagangan. Sehingga benda apapun bisa digunakan sebagai alat pembayaran asalkan kandungan intrinsiknya terbuat dari emas, perak dan tembaga juga perunggu. Jadi, koin atau uang logam sangat mungkin digunakan sebagai alat barter dalam proses perdagangan pada masa itu.
Ini tentu diperkuat dengan pernyataan seorang Ahli arkeologi dari Universitas Indonesia yang juga menjadi ketua Masyarakat Arkeologi Indonesia, Ali Akbar:
Jadi, tidak hanya koin bertulisan arab yang ditemukan. Berikut koin yang dipakai untuk mengklaim fakta sejarahnya:
Itu memang ada tulisan Arab seperti yang diklaim, tapi kita jangan lupa ada koin lain juga yang ditemukan. Coba kita bandingkan dengan uang Tiongkok pada masa itu (coba lihat yang saya lingkari):
hihi, Bagaimana? Apa boleh di klaim juga kalau Majapahit sebenarnya turunan dari Kekaisaran China? Koin-koin ini bisa kita temukan di Museum Trowulan. OK-lah, Itu soal koin. Mari kita sedikit membahas lambang Surya Majapahit.
Kita coba perjelas gambar itu:
Masih kurang jelas? Nihh…
Masih percaya fakta mengejutkan itu? Oooo… Come on man…. Hahahaha….
Ahhh… sudahlah..
Cara Baru Membentuk Opini Publik
Kita bisa melihat saat ini seperti ada trend baru yang lain, yang kurang lebih hampir sama dengan trend “meluruskan sejarah”, yaitu: menerbitkan buku.
Kita lihat 1 contoh saja. Saat mereka ingin memaksakan kehendak, bahwa Ahok terlibat korupsi, dan saat kenyataan tidak bisa sesuai harapan mereka, mereka pun menerbitkan buku “Usut Tuntas Kasus Ahok” untuk memperkuat opini mereka kalau Ahok memang terlibat. Selengkapnya pernah saya bahas di sini: Bahkan di Penjara, Nama Baik Ahok Tetap Dijaga Tuhan dan di sini: Bahkan di Penjara, Nama Baik Ahok Tetap Dijaga Tuhan – Jilid 2.
Sama seperti buku itu, kita bisa melihat trend “Meluruskan Sejarah” juga sama. Saat mereka menemukan “fakta baru” versi mereka, mereka lantas menerbitkan buku untuk menguatkan “fakta baru” tersebut dengan metode yang entah sesuai standar yang benar atau tidak. Tentu ini sudah berlangsung lama. Soal Majapahit saja pertama kali diterbitkan pada tahun 2010 dan kemudian disempurnakan dan diterbitkan kembali pada tahun 2014.
Pengetahuan sejarah yang sudah terekam dalam otak atau yang sudah terlupakan dari otak setiap rakyat Indonesia, ingin mereka bentuk ulang dengan “fakta baru” yang mereka temukan. Mereka tidak hanya muat dalam media sosial, tapi juga membukukannya.
Kita mungkin berpikir, yahh.. biarin lah, toh kita kan tidak membelinya, palingan yang beli cuma sedikit. Kita juga bisa menyindir mereka dengan yang lucu-lucu, menertawakan “kepintaran” mereka yang dengan entengnya “meluruskan sejarah” yang sebenarnya sudah lurus.
Kemarin saya melihat di posting-an teman saya, anaknya tiba-tiba bercerita dengan semangat dan berkata “ayah, ternyata majapahit itu kerajaan islam” dan dia mengganggap itu benar, hanya karena melihat isu itu menjadi viral sosial media. Kalau sudah begini, apa kita masih mau menyederhanakan masalah ini?
Harus kita ingat bahwa buku jelas lebih “kredibel” dibandingkan dengan tulisan di sosial media. Jadi, kalau isu viral di sosial media aja bisa membuat orang langsung mempercayai, apalagi buku?. Tidak menutup kemungkinan kelak, anak-cucu kita akan membaca buku itu sebagai referensi tugas akademi. Yaahh, syukur-syukur kalau faktanya memang seperti itu. Kalau tidak?
Saya ingat saat saya membuat skripsi, saya boleh menggunakan semua sumber berbentuk buku, tulisan online kecuali yang berakhiran wikipedia, blogspot, wordpress, serta tulisan di sosial media seperti facebook dan twitter. Kalau ojokepo.com itu boleh, asal bukan ojokepo.blogspot.com atau ojokepo.wordpress.com. Walaupun demikian, saya masih harus memilah-milah mana yang layak dipakai.
Kita juga jangan lupa istilah kebohongan yang diulang-ulang akan seolah jadi kebenaran.
Coba bayangkan kelak buku ini dibaca oleh orang yang tidak paham sejarah, atau saat mereka harus memilih dari dua sejarah yang bertolak belakang satu sama lain, yang satu menyebut Islam dan yang lainnya menyebut Hindu – Buddha.
Pemahaman apa yang akan terbentuk dalam pemikiran mereka? Syukur-syukur mereka menggunakan akal mereka untuk memilah sehingga mereka bisa memilih pembahasan sejarah yang benar, tapi kalau mereka tidak bisa menggunakan akal seperti yang diajarkan oleh orang yang dianggap sebagai Ustadz kalau manusia tidak memerlukan akal untuk memahami kitab suci?
Logikanya kalau memahami kitab suci (hal-hal surgawi yang ribet) aja tidak perlu akal, apalagi memahami hal-hal duniawi seperti ilmu pengetahuan atau sejarah?
Saya kira ini yang bahaya. Saat orang tidak menggunakan akalnya untuk memilah informasi, itu jelas akan membuat mereka menerima, menelan mentah-mentah apapun yang mereka baca. Maka bukan tidak mungkin mereka akan memilih sejarah sesuai yang mereka inginkan, bukan sesuai fakta yang benar.
Yahh… Kurang lebih sama seperti saat doktrin radikalisme dan terorisme yang didoktrin ke dalam otak orang-orang yang malas menggunakan akalnya untuk berpikir serta kasus lambang palu arit (BI) dalam uang yang dipaksa-paksakan.
Satu hal lagi, kitab suci dengan sains kadang memang bertolak belakang. Itu bisa jadi ada dua kemungkinan: Sainsnya salah atau masih perlu pengembangan atau kita yang kurang memahami isi kitab suci.
Lah… wong tidak perlu akal untuk memahami kitab suci, bagaimana mau memahami kitab suci secara benar?
Akhir kata, mungkin Merkurius, Mars, Venus, Jupiter dan planet lainnya juga mengelilingi Bumi, wong Matahari aja mengelilingi Bumi kok. Atau jangan-jangan keberadaan planet lain itu hanya hoax? Karena jika planet lain benar-benar ada dan tidak ikut matahari mengelilingi Bumi, maka suatu saat nanti akan terjadi tabrakan antara Matahari dengan Planet lain, atau cahaya matahari akan terhalangi oleh Planet di luar bumi. hmmm…
Atau jangan-jangan kekaisaran China sebetulnya kekaisaran Islam karena dulu Laksamana Cheng Ho adalah seorang muslim dan di Kitab Suci Alquran kan ada menyuruh umatnya untuk belajar ke negeri China, tapi karena sekarang sudah komunis dan pemakan babi jadi tidak mengakuinya? Hmm… entahlah… Ini hanya mungkin ya, saya tidak sedang meluruskan sejarah Kekaisaran China, kali aja ada yang tertarik untuk meluruskannya, tentu harus lewat metodologi yang benar.
Kok tiba-tiba Indonesia jadi banyak sejarawan dan ahli tata surya yang tidak jelas asal usulnya ya?
Ahhh… Ga tau lah…
Ok lah Sekian..
Secercah harapan yang menyinari Pagi,
Cahaya Fajar
You might also like
More from Ojo Ngumpet
Khilafah: Solusi Para Gembel
Selamat malam para pembaca yang baik hatinya. Sebenarnya sudah beberapa hari ini saya sedang menimbang-nimbang untuk menuliskan opini ini. Mengingat beberapa …
#DebatKerenPapua: The Thinker vs The Social Justice Warrior
Selamat siang menjelang sore. Kali ini saya ingin membahas sebuah dinamika berpolemik yang sedang berusaha digalakkan oleh Bung Budiman Sudjatmiko, seorang …
Polemik Co-Branding
Lepas dari perseteruan KPAI dengan Djarum beberapa saat yang lalu perihal PB Djarum yang dianggap mengekploitasi anak karena terasosiasi bebas …
Menjadi Muslim yang Muttaqin
Ada orang-orang yang pada setiap harinya ia mengalami peningkatan taraf keimanan dan kebaikan dalam hidupnya; itulah orang-orang yang mendapat keberkahan …
Quick Count dan Bawang Putih
Bukan! Suer saya gak menulis bahwa untuk mencounter Quick Count (QC) perlu dilakukan ritual sebagaimana mengusir Vampire dengan menggunakan Bawang …
Erich Ludendorff Indonesia: Sejak Zaman ORBA hingga Sekarang
Selamat malam pembaca tercinta, sudah lama tak bersua. Dalam kesempatan malam menjelang Pemilu 17 April 2019 ini izinkan saya menceritakan sebuah …
Leave a Reply